Di atas kertas, fit and proper test adalah mekanisme untuk menguji kelayakan dan kepatutan seseorang sebelum menduduki jabatan penting. Tujuannya mulia, memastikan kandidat punya kompetensi, integritas, dan visi yang sesuai dengan tanggung jawab yang akan diemban. Tes ini biasanya mencakup wawancara, uji pengetahuan, penilaian rekam jejak, bahkan pengujian psikologis.
Tapi di dunia nyata, cerita bisa agak “berbelok.” Alih-alih jadi filter kualitas, fit and proper test kadang berubah menjadi ritual formalitas yang lebih kental aroma politik atau kepentingan tertentu. Bahkan, dalam kasus yang lebih gelap, proses ini bisa menjadi komoditas, ada “harga” untuk lolos, ada “jalur cepat” untuk yang mau bayar lebih.
Baca juga:  Monolog Harapan di Balik Dinding Lumbung
Bayangkan saja, jabatan strategis—baik di lembaga negara, perusahaan BUMN, atau organisasi publik—mempunyai nilai ekonomi dan politik tinggi. Posisi itu bukan sekadar kursi, tapi juga akses ke jaringan, proyek, dan kekuasaan.
Fit and proper test bisa dijadikan pintu tol berbayar, yang punya modal dan koneksi lebih, melaju mulus, yang mengandalkan kemampuan murni, terjebak macet.Fenomena ini memunculkan paradoks. Tes yang seharusnya menjaring orang terbaik malah berpotensi mengabaikan talenta sejati. Reputasi fit and proper test pun jadi rawan dipertanyakan—apakah ini benar-benar soal kelayakan, atau hanya soal “kepatutan” versi mereka yang berkuasa?
Baca juga:  Alasan Harus Objektif, Jangan Baper!
Pada akhirnya, publik berharap mekanisme ini kembali ke jalur semestinya: transparan, akuntabel, dan bebas dari transaksi tersembunyi. Karena jabatan publik itu bukan hak istimewa segelintir orang, melainkan amanah yang dampaknya dirasakan oleh banyak orang.
 
 

 
 
 
 
 
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar