~ Seorang diri, menatap ke kejauhan, merenung ~
Betapa rumitnya tarian ini, di dalam diriku. Pikiran, si ahli logika yang tenang, selalu berbisik tentang alasan, tentang konsekuensi, tentang apa yang seharusnya. Ia membangun menara argumen, menyusun rencana, mencoba menata kekacauan dunia ini menjadi serangkaian fakta yang rapi.
Ia adalah kompas, penunjuk arah, yang mencegahku tersesat dalam badai impulsif. Aku berutang banyak padanya, atas setiap keputusan yang terukur, setiap langkah yang dipikirkan dengan matang.
Baca juga: Menemukan Keseimbangan Hidup: Kerja Keras Dulu, Traveling Kemudian
Namun kemudian muncul dia, perasaan. Bak gelombang pasang, ia menyerbu tanpa peringatan. Riangnya tawa yang meledak dari lubuk hati, pahitnya duka yang menusuk hingga ke tulang inti, kemarahan yang membakar, atau cinta yang melambungkan segalanya. Perasaan tak peduli pada logika.
Ia adalah warna yang melukis dunia, melodi yang menggetarkan jiwa. Tanpanya, hidup ini akan menjadi kanvas kosong, sekadar serangkaian hari yang monoton. Ia memberiku kedalaman, memberiku empati, memberiku alasan untuk merasakan, untuk hidup.
Dan di sinilah dilemanya, inti dari setiap pergulatan batinku. Bagaimana menyeimbangkan keduanya? Terlalu banyak pikiran, aku menjadi dingin, kalkulatif, kehilangan sentuhan dengan esensi kemanusiaan. Terlalu banyak perasaan, aku menjadi labil, impulsif, rentan terhadap setiap hembusan angin emosi.
Namun kemudian muncul dia, perasaan. Bak gelombang pasang, ia menyerbu tanpa peringatan. Riangnya tawa yang meledak dari lubuk hati, pahitnya duka yang menusuk hingga ke tulang inti, kemarahan yang membakar, atau cinta yang melambungkan segalanya. Perasaan tak peduli pada logika.
Dan di sinilah dilemanya, inti dari setiap pergulatan batinku. Bagaimana menyeimbangkan keduanya? Terlalu banyak pikiran, aku menjadi dingin, kalkulatif, kehilangan sentuhan dengan esensi kemanusiaan. Terlalu banyak perasaan, aku menjadi labil, impulsif, rentan terhadap setiap hembusan angin emosi.
Aku seperti penari yang mencoba menyeimbangkan di atas seutas tali tipis, dengan satu sisi menarikku ke arah kebekuan akal, dan sisi lain menarikku ke dalam lautan emosi yang bergejolak.
Baca juga: Membongkar Kekuatan Kebaikan dalam Relasi Sosial
Apakah ada titik temu yang sempurna? Mungkin bukan keseimbangan statis, melainkan sebuah tarian yang dinamis.
Apakah ada titik temu yang sempurna? Mungkin bukan keseimbangan statis, melainkan sebuah tarian yang dinamis.
Kadang pikiran yang memimpin, kadang perasaan yang menuntun. Keduanya tidak untuk saling menghancurkan, melainkan untuk melengkapi.
Pikiran memberiku struktur untuk menampung badai emosi, dan perasaan memberiku alasan untuk terus membangun struktur itu.
Keseimbangan ini adalah perjalanan, bukan tujuan. Sebuah tarian abadi antara apa yang aku tahu dan apa yang aku rasa, menciptakan melodi yang unik, melodi diriku.
Keseimbangan ini adalah perjalanan, bukan tujuan. Sebuah tarian abadi antara apa yang aku tahu dan apa yang aku rasa, menciptakan melodi yang unik, melodi diriku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar